Breaking News

Pakar Hukum Pidana Dr. Azmi Syahputra, SH, MH ( Dosen Sosiologi Hukum dan Kriminologi )




Jakarta, SARANAPOS.COM, Pernyataan Wakapolri Dipahami Sebagai Ajakan Agar Semua Elemen Bisa Patuh Pada Protokol Kesehatan

Pernyataan Wakapolri soal pemberdayaan jeger di pasar agar pedagang dan pengunjung pasar taat patuh kepada Protokol Kesehatan Covid-19, harus dipahami Bahwa dalam setiap komunitas selalu ada tokoh-tokoh yang dipandang dan menjadi panutan.

Menjadikan tokoh yang dipandang dalam komunitas menjadikan perintah menjadi lebih efektif. Bahkan, seringkali tanpa harus memberikan ancaman atau sanksi jika tokoh terpandang dikomunitasnya melakukan suatu tindakan, akan langsung dicontoh oleh anggota komunitas.

Dalam sosiologi, ini dapat terjadi karena ada relasi patron and client, relasi saling tergantung. Atau dalam pendekatan lain, karena rasa in group dan out group, kalau tidak mengikuti tokoh seperti bukan dari bagian group.

Jadi pernyataan Wakapolri dipahami sebagai ajakan agar semua elemen bisa patuh pada protokol kesehatan, kalau tidak patuh maka minta bantuan kepada tokoh setempat atau tokoh komunitas. Kalau di pasar ada jeger, di komunitas lain ada tokoh Yang lain. Jadi bukan preman, tetapi Siapa saja Yang berpengaruh di lingkungannya agar anjuran ajakan mematuhi protokol Covid-19 menjadi lebih efektif.

Ya, jadi bukan soal preman tetapi kepada seluruh tokoh komunitas apa saja, ayo kita patuhi protokol kesehatan, karena ancaman Covid-19 itu nyata. Preman Tak Berarti Jahat, Siap Bantu Penerapan Prokes Covid-19

Jangan terjebak stigma. Mereka yang menjadi petugas keamanan di pasar tradisional, belum tentu seorang preman yang jahat. Boleh jadi, mereka bakal menjadi pahlawan dengan mendorong kedisiplinan warga dan konsumen pasar dalam menjalankan Protokol Kesehatan (Prokes) guna mencegah Covid-19.

Pernyataan Wakapolri soal pemberdayaan sosok petugas keamanan informal, biasa disebut preman atau jeger, di pasar- pasar tradisional punya tujuan mulia. Itu agar pedagang dan pengunjung pasar taat patuh kepada Protokol Kesehatan Covid-19. Bukan apa-apa, pasar dan pusat perdagangan di beberapa kasus terbukti menjadi klaster penyebaran Covid-19. 


Sedangkan penggunaan istilah jeger yang kemudian media memperluasnya menjadi preman, tak perlu dimaknai secara dangkal. 

Harus dipahami bahwa dalam setiap komunitas selalu ada tokoh-tokoh yang dipandang dan menjadi panutan.

Menjadikan tokoh yang dipandang dalam komunitas menjadikan perintah,ajakan, anjuran menjadi lebih efektif. Bahkan, seringkali tanpa harus memberikan ancaman atau sanksi jika tokoh terpandang dikomunitasnya melakukan suatu tindakan, akan langsung dicontoh oleh anggota komunitas.

Dalam sosiologi, ini dapat terjadi karena masyarakat kita secara mayortas diikat oleh hubungan relasi patron and client, relasi saling tergantung. Atau dalam pendekatan lain, karena rasa in group dan out group, kalau tidak mengikuti tokoh seperti bukan dari bagian group.

Jadi pernyataan Wakapolri dipahami sebagai ajakan agar semua elemen bisa patuh pada protokol kesehatan, kalau tidak patuh maka minta bantuan kepada tokoh setempat atau tokoh komunitas. Kalau di pasar ada jeger, di komunitas lain ada tokoh yang lain. Jadi bukan soal preman, tetapi siapa saja yang berpengaruh di lingkungannya agar patuh anjuran, ajakan kepada protokol Covid-19 menjadi lebih efektif.

Jadi bukan soal preman tetapi kepada seluruh tokoh komunitas apa saja. Apalagi ada realitas preman pensiun, preman sadar ini fenomena yang ada di kehidupan. Jadi ayo kita patuhi protokol kesehatan, karena ancaman Covid-19 itu nyata. Kalau perlu tanpa harus berdebat, siapa penyampai kebaikan itu.

Intinya ajakan Wakaporli mendorong setiap elemen  kelompok masyarakat untuk ikut berperan agar semakin patuh  standard covid, jadi fokus pada tujuan, substansi yang mau dituju atas harapan Kapolri demi kesehatan dan keselamatan kemanusiaan.

Ketua Harian Kompolnas: Pernyataan Wakapolri Soal Penggunaan Preman Dipelintir


Masalah Covid 19 adalah masalah kita bersama, yang harus dihadapi dan ditangani bersama-sama oleh semua komponen masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Dr Benny J. Mamoto, Ketua Harian  Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) di Jakarta, Minggu (13/9/2020).

"Kita tidak bisa hanya menyerahkan kepada pemerintah atau aparat. Marilah kita mulai dari diri kita, keluarga kita, dan lingkungan kita," katanya. 

Menurut Purnawirawan Bintang Dua Polri ini, edukasi menjadi penting karena menyangkut kebiasaan baru yg berkaitan dengan kesehatan.

"Ketidakpedulian satu orang atau kelompok akan berdampak serius bagi semua. Saat ini cluster yg berkembang adalah di kerumunan massa, seperti pasar tradisional. Banyak Ibu-ibu dan penjual yang abai menggunakan masker. Oleh sebab itu, perlu koordinasi dan kerja sama dengan pengelola pasar dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh dilingkungan tersebut," katanya.

Keberadaan tokoh komunitas untuk ikut mengedukasi di lingkungan tersebut. Bila masih ada pelanggaran maka upaya persuasif di kedepankan.

Edukasi yang tepat dengan bahasa yang mudah di mengerti akan menyadarkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi, ujar mantan Deputy Pemberantasan Badan Narkotika Nasional ini. 

Menurut Benny, berkaitan dengan pernyataan Wakapolri yang dipelintir (ditafsirkan sendiri oleh penulisnya) sesungguhnya dimaksudkan sebagai pemberdayaan seluruh elemen masyarakat, termasuk di lingkungan pasar tradisional, ujarnya.

"Masing-masing pasar tradisional memiliki ciri khas sendiri sesuai kearifan lokalnya sehigga pendekatannya pun perlu disesuaikan. Penggunaan istilah preman (oleh si penulis)  justru menyesatkan dan menyinggung perasaan orang yang dituju, kata Benny. 

Dalam tugas berat, sosialisasi protokol kesehatan, semua komponen masyarakat yang dilibatkan, termasuk tokoh masyarakat, tokoh informal, sesepuh, tokoh tertua yang ada di pasar tersebut yang punya pengaruh. Semua itu tujuannya agar masyarakat patuh pada protokol kesehatan sehingga mereka  terhindar dari penularan Covid 19 atau menularkan (carrier) ke orang lain, katanya.( Her Sp )

Tidak ada komentar